Jumat, 03 Februari 2017

Syarh Khudz Aqiidatak min Al-Kitab wa As-Sunnah Ash-Shohiihah 2

PASAL  II
RAGAM TAUHID DAN KEUTAMAANNYA

   
1.   Untuk apa Allah Subhanahu wata’ala mengutus para rasul?

Jawaban : Allah mengutus mereka untuk berdakwah kepada Tauhid dan memberantas kesyirikan.

Allah Subhanahu wata’ala  berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ
Artinya: “Dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul (untuk menyerukan) hendaklah kalian menyembah Allah Subhanahu wata’ala dan menjauhi thoghut”. (QS An-Nahl: 36)

Makna "Thaghut" ialah syaithan yang menyeru untuk beribadah kepada selain Allah.

Dan Sabda Nabi Muhammad Shalli ‘alaihi wasallam  :
الْأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ …. وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ
Artinya: Para nabi itu bersaudara …. dan agama mereka satu (yakni semua rasul mengajak kepada tauhid). [Muttafaqun ‘Alaih, Muslim 7/96 (1624)]

Penjelasan:

Yang dimaksud “dan agama mereka adalah satu” ialah inti ajaran agama mereka semuanya mengajarkan Tauhid (Laa ilaha illallah) walaupun hukum­-hukum dan syari'at mereka berbeda-beda. Oleh karena itulah maka agama mereka dikatakan satu.
       

2.     Apa yang dimaksud dengan “Tauhid Rabb” (Tauhid Rububiyah)?

Jawaban : Ialah mentauhidkan Allah (meyakini dan menetapkan keesaan Allah) dalam semua perbuatan-Nya, seperti menciptakan, mengatur (makhluk-Nya) dan lain sebagainya.

Allah Subhanahu wata’ala  berfirman:
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya: Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. [QS Al-Fatihah: 2].

Dan Sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam  :
اللَّهُمَّ رَبَّ السَّمَاوَاتِ وَرَبَّ الْأَرْضِ
Artinya: Engkau adalah Rabb langit-langit dan bumi [Muttafaqun ‘Alaihi, Muslim 8/78-79 (1908)]


3.   Apa yang dimaksud dengan “Tauhiidul-Illah” (Tauhid Uluhiyah)?

Jawaban : Ialah Mentauhidkan (mengesakan) Allah dalam beribadah, misalnya seperti berdoa, menyembelih, bernadzar dan sebagainya.

Penjelasan :
·....Menyembelih (adz-dzabh) ialah menghilangkan nyawa dengan mengalirkah darah dan dengan cara tertentu. Dan yang dimaksud dengan menyembelih disini (yaitu yang berkaitan dengan ibadah) ialah penyembelihan yang dilakukan dengan tujuan Pengagungan (Taqarrub) kepada sesuatu (objek) yang mana sembelihan itu ditujukan untuknya. Dan kalau ini ditujukan pada selain Allah maka hukumnya adalah syirik akbar (syirik besar), berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala :
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لاَ شَرِيكَ لَهُ
Artinya : "Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, sembelihanku. hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya... (Q.S : Al-An'aam : 162,163)

·.....Bernadzar (an-nadzr) ialah seseorang mewajibkan dirinya untuk melakukan sesuatu (dengan syarat apa yang diinginkannya tercapai terlebih dahulu), dan biasanya sesuatu itu ialah sesuatu yang pada hukum asalnya adalah sunnah secara syar'i. (Lihat Kitab Syarh Kasyfu Asy-Syubuhaat karya Syaikh Ibnu Utsaimin, hal: 37, 38)

(selesai penjelasan)

Allah Subhanahu wata’ala  berfirman:
وَإِلَـهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Ilaah (yang berhak disembah) melainkan dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS Al-Baqarah:163). 
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Artinya: Ketauhilah bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah dengan haq kecuali Allah Subhanahu wata'ala. (QS Muhammad: 19)

Dan Sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam  :
 فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله
Artinya: Hendaklah yang pertama kali yang engkau menyeru mereka kepadanya persaksian bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah Ta'ala. [Muttafaqun ‘Alaihi]
اِلَى اَنْ يُوَ حِّدُاْ اللّٰه
Dalam riwayat Bukhari, teksnya : “Agar mereka mentauhidkan Allah”

Penjelasan:

Pada jalur lain redaksi selengkapnya adalah sebagai berikut :

Dari Abdullah bin' Abbas radhiyallahu anhu ia berkata : "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda kepada Mu'adz bin Jabal radhiyallahu anhu ketika mengutusnya ke negeri Yaman :
إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ
Artinya: "Bahwasanya engkau akan datang pada suatu kaum yang mana mereka adalah ahli kitab. Jika engkau datang kepada mereka. maka serulah mereka agar bersaksi bahwasanya tiada Ilaah yang patut diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul utusan Allah" [Muslim 1/37-38 (504)]

Pada Jalan yang lain, redaksi hadits ini berbunyi sebagai berikut:
 فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللَّهِ
"Hendaklah yang pertama kali engkau seru mereka yaitu agar mereka beribadah kepada Allah”

Dalam riwayat lain berbunyi :
اَنْ يُوَ حِّدُاْ اللّٰه
“(Hendaklah yang pertama kali engkau seru mereka) agar mentauhidkan/mengesakan Allah”

Jika mereka telah mentaatimu (dalam riwayat lain berbunyi: (فَاِذَا عَرَ فُوْا اللّٰه) "Maka jika mereka telah mengenal Allah").

فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِي فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
Maka beritahukan kepada mereka bahwasanya Allah Subhanahu wata’ala telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam, dan jika mereka telah mentaatimu, beritahukanlah bahwasanya Allah Subhanahu wata’ala  mewajibkan atas mereka untuk menunaikan Zakat yang diambil dari orang-orang kaya, lalu dlberikan kepada orang-orang fakir. Dan sekiranya mereka telah taat padamu. maka waspadalah engkau dari harta benda yang sangat berharga bagi mereka. Dan takutah engkau akan do'a seorang yang teraniaya. karena tiada penghalang antara do’anya dengan Allah Subhanahu wata’ala . (Hadits shahih riwayat Bukhary no: 1458 dan 1496, dan Muslim no: 29-30)

Maka ambilah pelajaran dari hadits ini wahai saudaraku bahwa dakwah kepada Tauhid merupakan "Ujung tombak dakwah" agama kita ini.


4.   Apa makna Tauhid Shifaatillahi wa asma’ihi (Shifat-shifat dan Nama-nama bagi Allah)?

Jawaban : Maksudnya adalah menetapkan apa yang Allah telah tetapkan untuk diri-Nya dalam Kitab-Nya atau yang ditetapkan bagi-Nya oleh Rasul-Nya didalam hadits-hadits yang shahih, secara hakiki dengan tanpa harus menta’wil (merubah artinya), mentafwidh (meniadakan arti pada nama dan sifat Allah), mentamtsil (menyerupakan sifat Allah dengan makhluk-Nya), atau menta’thil (membuang nama-nama dan sifat Allah). misalnya seperti bersemayam-Nya Allah diatas Arsy, turun-Nya Allah, tangan Allah dan sebagainya dari sifat-sifat yang sesuai dengan kesempurnaan Allah.

Allah Subhanahu wata’ala  berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
Artinya: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat”. (QS Asy-Syura:11)

Dan Sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam  :
يَنْزِلُ اللّٰه فِىْ كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا
Artinya: Allah turun ke langit dunia pada setiap malam [HR Muslim]

Allah turun dengan sebenar-benar turun sesuai dengan keagungan­ Nya yang mana turun-Nya tidak sama dengan turunnya satupun dari makhluk-makhluk-Nya.

Penjelasan :

Begitulah manhaj salaf Ash-Shalih dalam menyikapi nash-nash, baik dari Al-Qur'an maupun Al-Hadits yang menyebutkan sifat-sifat Allah, mereka memberlakukannya dan memahaminya secara dhohirnya lafazh (secara hakiki), karena :

1)...Allah menurunkan Al-Qur'an dengan bahasa Arab yang fasih dan jelas. Begitupula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  menyampaikan hadits-haditsnya dengan bahasa Arab yang fasih dan jelas pula. Maka barang siapa merubah lafazh-lafzh tersebut dari dhohimya, itu adalah sama dengan berbicara atas nama Allah (mengada-ada) tanpa landasan ilmu. Perbuatan tersebut sangat tercela dengan firman-Nya :
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Artinya: Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S. Al-A'raaf: 33)

2)     Sudah masyhur dikalangan ahli Bahasa 'Arab adanya sebuah qaidah:
اَلْا صْلُ فِيْ الْكَلَامِ اَلْحَقِيْقَةُ فَلَا يُعْدَلُ عَنْهَا اِلَا بِدَلِيْلٍ صَحِيْعُ عُنْهَا
Artinya: “Asal dari sebuah ungkapan adalah (makna) hakikinya, maka tidak baleh dipalingkan dari makna asalnya itu kecuali kalau ada dalil (qarinah) yang shahih yang bisa memalingkannya.”

Bahkan aqidah ini menurut saya (pent.) kurang lebih bersesuaian dengan gaya bahasa kita (Indonesia), sebagai contoh misalnya : Anda bertemu dengan teman anda lalu dia mengatakan "Saya barusan bertemu dengan Singa", tentu secara spontan tergambar dalam benak anda, ketika memahami kata "Singa", adalah singa yang sebenar-­benamya, yaitu seekor binatang buas yang memiliki taring dan kuku yang tajam, tidak syak lagi memang ini adalah pemahaman yang adil dan memang itulah makna singa secara asal. Kecuali lain halnya kalau ada dalil/qarinah yang kuat, yang memalingkan dan makna asal, contoh:

o   Bung Karno adalah betul-betul "Singa Podium" yang sulit dicari tandingannya.
o   Panglima besar Khalid bin Walid adalah "Singa Padang Pasirnya" Bangsa Quraisy
o   Dia mengidap penyakit "Raja Singa" (sipilis)

Yang jadi pertanyaan adalah: Berkenaan dengan nash-nash dari Al-­Qur’an dan Al-Hadits yang menyebutkan sifat-sifat Allah, adakah gerangan dalil-dalil atau qarinah-qarinah yang kuat yang memalingkan dari zhahirnya lafazh-lafazh tersebut? Selagi tidak ada, kita harus sepakat untuk memberlakukan dan memahami nash-nash tersebut sesuai zhahirnya.

Cobalah kita buka mushaf Al-Qur'an kita, surat Ali-lmran, ayat:7, untuk kemudian kita buka pula mata, telinga serta mata hati kita, bagaimana Allah Subhanahu wata’ala  memuji orang-orang yang raasikh fii al 'ilmi (mendalami ilmunya) ketika melihat dan mendengar ayat-ayat mutasyaabihaat (ayat-ayat yang menerangkan sesuatu yang ghaib, yang tidak bisa diindera hakikatnya oleh manusia, kecuali hanya Allah saja yang tahu).

Pujian Allah kepada mereka tentunya secara tersirat. Allah menyuruh kita untuk meneladani mereka :
هُوَ الَّذِيَ أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاء الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاء تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الألْبَابِ
Artinya: “Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (dari padanya) melainkan orang-orang yang berakal." (QS Ali Imran : 7)

Adalah Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ketika menyampaikan dalil secara akal yang menguatkan pendapat bahwa wajibnya memberlakukan dan memahami nash secara zhahir, beliau mengatakan : ''Maka oleh sebab yang berbicara (Allah) dengan nash-nash ini adalah yang paling tahu tentang maksud-Nya dari pada selain-Nya, dan sungguh Dia telah mengarahkan perkataan-Nya kepada kita dengan bahasa 'Arab yang jelas, maka wajib menerimanya sesuai dengan (makna) zhahimya dan kalau tidak (menerima makna secara zhahimya) sungguh akan terjadi perbedaan pendapat (penafsiran dan versi) dan akan terpecah belahlah ummat ini "

"Betul sekali ya Syaikh kenyataannya memang demikian adanya­- semoga Allah merahmatimu" (pent)

Senada dengan ucapan beliau, ucapan imam Asy-Syafii : “Aku beriman kepada Allah, dan kepada apa yang datang dari Allah (Al-Qur'an) sesuai dengan maksud Allah. Dan aku beriman kepada Rasulullah dan kepada apa yang dibawa oleh Rosulullah (Al-Hadits) sesuai dengan maksud Rasulullah"  (Risalah Al-Madaniyyah oleh lbnu Taimiyyah. hal. 121) [dinukil dan Syarh Lum'ati Al­ I’tiqaad. Oleh lbnu Utsaimin. Hal.36]

Begitulah mazhabnya penghulu Syafi'iyyah dalam menyikapi Tauhid Asma' wa Sifatillah, bagaimana dengan mayoritas pengiku nya sekarang ini -jauh panggang dari api- mereka justru menganut mazhab Asya'irah yang menolak sebagian besar sifat-sifat Allah, walau demikian -lucunya- mereka, sambil mendabik dada, bangga dan menganggap diri mereka sebagai pengikut mazhab Syafi'i tulen, padahal tentunya beliau berlepas diri dari mereka,

Alangkah tepatnya penyair 'Arab yang mengatakan :
كُلٌّ يَدَّعِي وَصَلاً بِلَيْلَى … وَلَيْلَى لَا تُقِرُّ لَهُمْ بِذَاكَا
Kullun yadda’i washolan bi Laila… Wa Laila la tuqirru lahum bidzaakaa
"Semua (Lelaki) mengaku dirinya kekasih Laila. padahal Laila tidak pemah mengaku punya hubungan antara dengan mereka”

Berikut ini adalah istilah-istilah yang perlu dijelaskan :

1)     Ta'wil / Tahrif:

Pada mulanya arti dari ta'wil adalah tafsir, sebagaimana do' a Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam  kepada Ibnu 'Abbas:
اَللَّهُمَ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّاأْوِنْلَ
Artinya: "Ya Allah faqihkanlah dia dalam agama ini dan ajarilah dia tafsir (Al-Qur'an)" (HR Ahmad: 2247)

Namun pada perkembangan berikutnya para ulama menggunakan istilah ta'wil dengan pengertian tahrif, yaitu artinya adalah memalingkan nash-nash dari zhahimya dengan menyelisihi maksud Allah dan Rasul-Nya serta tafsir dan para sahabat dan para tabi'in yang mengikuti jejak para sahabat.

Dan tahrif ini lindakan yang biasa dilakukan oleh arang-orang Yahudi yang sangat dimurkai Allah, Allah Subhanahu wata’ala  berfirman :
مِّنَ الَّذِينَ هَادُواْ يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا
Artinya: "Yaitu orang-orang Yahudi, mereka merubah perkataan dari tempat-tempatnya, Mereka berkata : "Kami mendengar tetapi kami tidak menuruti" (QS. An-Nisaa :46)

2)     Ta'thil / Radd

Yaitu mendustakan dengan cara menolak atau mengingkari sebagian atau semua sifat-sifat Allah, Contoh firqoh yang menolak sebagian sifat-sifat Allah ialah firqoh Asya'irah dan Al Maturidiyyah, yang hanya menetapkan sifat-sifat bagi Allah kepada jumlah tujuh atau dua puluh, Sedangkan firqoh yang menolak semua sifat-sifat Allah ialah firqah Jahmiyyah (pendirinya bernama Jahm bin Shafwan meninggal tahun 121 H) dan firqoh Mu'tazilah (pendirinya bemama Washil bin Atho', murid Imam Hasan al Bashri yang durhaka).

3)     Tasybih dan Tamsil

Yaitu menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat Makhluk. Padahal Allah Subhanahu wata’ala  berfirman :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
Artinya: "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya" (Q.s: Asy-Syuuraa : 11)

Apa perbedaan antara Tasybih dengan Tamtsil? Kalau Tasybih adalah menyerupakan Allah dengan makhluk pada sebagaian sifat-sifat tertentu saja (tidak sama persis) Sedangkan Tamtsil adalah menyerupakan Allah dengan makhluk pada semua sifat-sifat dalam semua segi (sama persis).

4)     Takyif  / Tashawwur

Menggambarkan dan membayang-banyangkan dengan akal mengenai hakikat dan sifat-sifat Allah. lni tidak dibenarkan, karena manusia harus sadar dan mengakui keterbatasan dan kelemahan akalnya untuk menjangkau hakikat sifat-sifat yang hanya Allah saja yang tahu. Allah Subhanahu wata’ala  berfirman :
وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا
Artinya: "Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi Ilmu-Nya" (QS Thaahaa : 110)

Adapun perbedaannya dengan tasybih atau tamtsil adalah, Takyif ini tidak dikaitkan dengan makhluk yang ada, sebagai contoh gambarannya begini : Allah memiliki dua tangan (lihat QS. Al­Maidah : 64), lalu seseorang berkata, dengan :

  • Tasybih atau Tamtsil : "Menurut saya kedua tangan Allah itu seperti kedua tangan saya".
  • Takyif atau Tashowwur : "Menurut saya kedua tangan Allah itu seperti begini dan begini".

Jadi dia menggambar-gambarkan sendiri, mengkhayal-khayalkan sendiri, mereka-reka sendiri dan berimajinasi sendiri.

-Cukup kreatif dan imajinatif memang, tapi sesat-(pent.)

Ambillah pelajaran !

Ketika Imam Malik bin Anas bermajlis bersama murid-muridnya adalah seorang laki-laki bertanya kepada beliau : "Wahai Abu 'Abdillah (julukan Imam Malik) :
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Artinya: "Allah yang maha Pengasih bersemayam diatas 'Arsy" (QS. Thaahaa : 5)

Bagaimana bersemayamnya Allah itu?

Imam Malik menjawab : "Il-Istiwa' (bersemayamnya Allah diatas 'Arsy) jelas (maknanya sudah diketahui) dan Takyif tentangnya tidak bisa dijangkau dengan akal, sedangkan beriman tentang hal itu adalah wajib dan pertanyaan (seperti itu) adalah bid'ah." Kemudian Imam Malik menyuruh agar laki-laki yang bertanya tadi diusir keluar. (kerena beliau khawatir orang ini akan mempengaruhi dan menimbulkan fitnah bagi yang lainnya-pent.)
[Atsar Shahih dikeluarkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Uluuw hal 141, 142. Abu Nuaim dalam Al-Hilyah : 6/325-326,  Al-Baihaqiy dalam Al-Asmal wa As-Sifat. hal. 408, dan yang lain-lainnya] Lihat Syarh Lum'atil-I'tiqood oleh Ibnu Utsaimin. hal. 68-69.

5)     Tafwidl

Ketahuilah bahwa zhahir nash-nash yang menyebutkan slfat-sifat Allah Itu memiliki dua segi :
  1. Segi Makna yang zhohir.
Sebagai makna dan kelaziman bahasa ‘Arab.
Contoh : Lafazh " يَدُ اللّٰه ", maknanya adalah "tangan Allah"

  1. Segi kaifiyyah atau hakikatnya.
Ini adalah hal yang ghaib, hanya Allah saja yang tahu.

Contoh: Tentang bagaimana "tangan Allah", atau yang lainnya semisal, bagaimana Surga, Neraka, Wajah Allah, Mizan, Shirath dan sebagainya, hanya Allah saja yang tahu, karena semuanya itu belum pemah ditunjukkan kepada kita, atau kita belum pernah kesana dan akal kita tidak akan mampu menjangkaunya. Tafwidl itu secara bahasa artinya "Menyerahkan sesuatu".

Dalam hal ini aqidah Ahlus-sunnah wal jama'ah menerima segi (a) makna yang zhahir, dan menyerahkan pengetahuan kepada Allah pada segi (b) kaifiyyah atau hakikatnya

Sedangkan aqidah Ahli Tafwidl (mufawwidlah) ialah menyerahkan semuanya baik segi (a) makna yang zhahir, maupun segi (b) kaifiyyah atau hakikatnya kepada Allah, mereka bersikap masa bodoh dan tidak berkomentar (no coment) terhadap nash-nash yang mewartakan sifat-sifat Allah. Mereka biarkan nash-nash itu sekedar "hitam diatas putih" saja.

Syaikhul-Islam lbnu Taimiyyah dalam kitab beliau “Al-Aql wa An-Naql” mengatakan bahwa aqidah Ahli­ Tafwidl adalah sejelek-jelek aqidah ahli bid'ah dan kesesatan dalam masalah Tauhid Asma' wa sifatillah, karena itu sarna dengan menuduh jelek lerhadap Al-Qur'an dan terhadap Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam  : Yaitu bahwasanya Al-Qur'an itu nash-nashnya ada yang tidak bermakna dan tidak bisa difahami, begitu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  yang membawa dan berkewajiban menjelaskan isi Al-Qur'an tidak memahami nash-nash itu.

Seandainya ada beberapa nash-nash yang tidak bermakna, maka tidak sempurnalah julukan yang disandang Al-Qur'an yaitu "Hudan Linnaas" dan "Al-Furqon". Padahal Allah Subhanahu wata’ala  berfirman :
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : "Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl : 44)

Perhatikan penggalan ayat tersebut berbunyi "supaya mereka memikirkan".

Kalau seandainya ada (tidak sedikit) nash-nash yang tidak bermakna lalu apanya yang hendak difikirkan? Nash-nash itu akan bisa menjadi bahan fikiran, kalau memiliki makna Tentunya Maha Suci Allah dari berbuat bodoh dan sia-sia dalam Kalam-Nya. (Lihat Al-Qawaa'idul-Musthaa hal 45-48)

Konon diantara yang menganut aqidah ini adalah tokoh pendiri Harokah lkhwanul-Muslimin Syaikh Hassan Al_Banna, wAllahu 'alam (lihat Buku "Jama'ah-Jama'ah Islam Ditimbang Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah Jihd II, Syaikh Salim bin 'led al-Hilaly. Pustaka Imam Bukhari hal 68). Kelima macam bentuk kesesatan ini (Ta'wil, Ta'thil, Tamtsil, Takyif dan Tafwidl) merupakan bentuk-bentuk kesyirikan dan kekufuran terhadap Tauhid Asma' wa Sifatulloh.

Saya (pent.) pernah mendengar ada seorang ustadz bahkan seorang pemimpin sebuah pondok pesantren mengatakan bahwa membahas Tauhid Asma' wa Sifatulloh seperti ini adalah bertele-tele dalam membahas nash-nash Al-Qur'an dan Al-Hadits ?!

Kepada orang seperti ini saya akan menyampaikan salah satu dan tiga " penghargaan " :
  1. Bisa jadi dia orang yang suka meremehkan sesuatu yang sebenamya pokok dan penting.
  2. Bisa jadi dia orang yang malas, yang tidak suka berpayah-payah (mujahadah) dalam beragama.
  3. Bisa jadi dia memang orang bodoh tapi sok pintar.
Atau barangkali semua penghargaan ini saya serahkan kepada dia.

Sesungguhnya aqidah seperti ini telah dipegangi oleh As-Salaf Ash­ Shaleh, serta oleh para A’immatul-Huda (pemuka-pemuka para ulama yang mengikutl petunjuk). dan mereka telah membahasnya secara panjang lebar, secara ilmiyah dalam kitab-knab karya mereka. Dan orang ini sama sekali tidak menghargai jasa-jasa para ulama yang sudah berupaya keras dan ikhlas untuk menerangkan kepada umat tentang bagaimana memahami Tauhid Asma' wa Sifatulloh sesuai dengan yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya

-Semoga Allah membalas kebaikan mereka, dan semoga Allah mengampuni dan menunjuki orang ini –

Kembali kepada pembahasan "Ragam Tauhid", bahwa wajib 'ain bagi setiap muslim / muslimah untuk memiliki dan menjaga kemurnian dari ketiga ragam Tauhid tersebut, yaitu dalam Tauhid Rubbubiyyah, Tauhid Uluhiyyah dan Tauhid Asma' wa Sifatulloh.

Keliru dan tersesatlah orang yang hanya mengimani Tauhid Rububiyyah saja tanpa kedua macam Tauhid yang lainnya. Sebagaimana hal-ikhwal kaum musyrikin Quraisy tempo dulu, mereka hanya mengimani Tauhid Rububiyyah saja.

Perhatikan firman Allah Subhanahu wata’ala  tentang mereka :
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
Artinya: "Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi.? Niscaya mereka menjawab : Allah .. ... " (QS. Az-Zumar : 38)

Imam Ibnu Qayyim berkata: "Seandainya keimanan kepada Tauhid Rububiyyah ini saja dapat menyelamatkan, tentunya orang-orang musyrikin telah diselamatkan. Akan tetapi urusan yang amat penting dan menjadi penentu adalah keimanan kepada Tauhid Uluhiyyah yang merupakan pembeda antara orang-orang musryikin dan orang-orang yang mentauhidkan Allah. "(Madaarijus Saaliqin: 1/327) (dinukil dari "6 Pilar Utama Dakwah Salafiyyah” hal. 56]

Ada lagi sebuah pertanyaan yang cukup bagus bahwa, "Apakah pembagian Tauhid menjadi tiga tersebut adalah bid'ah, karena tidak ada satupun riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  yang menyatakan pembagian lersebut ?

Kita jawab:

Pembagian tersebut bukanlah bid'ah, dengan alasan :
a.....Pembagian tersebut hanyalah metode para ulama untuk mengklasifikasi nash-nash yang ada, yang berkenaan dengan Tauhid kepada Allah, yang mana tujuan upaya para ulama tersebut adalah untuk 'Tashiilu Al-Fahmi" (mempermudah pemahaman) bagi kaum muslimin terutama kalangan awam. Sebagaimana sama halnya dengan klasifikasi ulama terhadap ajaran Islam itu sendiri. Kita sudah sejak dulu mengenal ada bidang aqidah, syari'at / hukum, akhlak, fara'id dan sebagainya. Kita lihat juga kitab-kitab hadils seperti jawami' dan sunan, kita mengenal kitab Shahih Bukhariy, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Al-Tirmidzi, Sunan An ­Nasa'i, Sunan Ibnu Majah dan sebagainya, disitu tersusun secara tematik, seperti kitab : Thaharah, Kitab Sholat, Kitab Zakat, Kitab Haji, Kitab Buyu' dan sebagainya.

Padahal apakah pernah dalam radaksi hadits Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam  mengatakan terlebih dahulu kepada para sahabat :
"Wahai para sahabat. hari ini adalah pelajaran Aqidah"
"Wahai para sahabal, sekarang pelajaran Syari'at”
"Wahai para sahabal, pagi ini kita mengaji tentang rnasalah Thaharah".

Jadi sekali lagi berkenaan dengan masalah pembagian Tauhid juga, para ulama hanya mengklasifikasi saja bukan mengada-ada (bid'ah).

Kalau begitu, nanti jangan-jangan pembagian AI-Qur'an kepada 30 juz bid'ah juga?1

b.....Coba kita perhatikan nash-nash Al-Qur'an seperti dalarn surat Al Fatihah sendiri terangkum tiga macam Tauhid tersebut :

Ø  (الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ) Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim. Adalah dua nama dari nama-nama Allah, berani masuk pada kategori Tauhid Asma' wa Sifatulloh"

Ø  (الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ) Allah dikatakan "Rabb” semesta alam, berarti masuk kepada kategori Tauhid Rububiyyah.

Ø  (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ) Secara tersirat Allah menyuruh kita beribadah dan minta penolongan hanya kepada-Nya saja, tidak kepada yang lain, ini berarti masuk kepada Tauhid Uluhiyyah.

c.....Disana ada juga sebagian ulama yang membagi Tauhid bukan menjadi tiga, melainkan dua yaitu:
Ø  Tauhid Al-Ma'rifah wal Al-Itsbaat, kalau diuraikan menjadi Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Asma' wa Sifatulloh.
Ø  Tauhid Al-Qashdu wa Ath-Thalab, ini sama dengan Tauhid Uluhiyyah. Wallahu 'alam.


5.     Di mana Allah?

Jawaban : Allah Subhanahu wa ta’ala di atas Arsy di atas langit.

Allah Subhanahu wata’ala  berfirman:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Artinya: “(Yaitu) Ar Rahman [Allah Yang Maha Pengasih] yang bersemayam di atas ‘Arsy”. (QS Thaahaa:5)
Dengan pengertian (اسْتَوَى) ialah (عَلَا) dan (اِرْتَفَعَ) artinya: berada diatas, sebagaimana penjelasan sebuah hadits yang termaktub dalam Shahhih Bukhariy.

Dan Sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam  :
اِنٌ الله كَتَبَ كِتَابًا ... فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ
Artinya: 'Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala telah menulis kitab (tentang takdir), …. Kitab itu berada di sisi Allah yang berada  di atas Arsy. [Mutaffaq alaih, Muslim 8/96 (1932)]

Penjelasan:

Tentang 'Arsy Allah :

1)     Definisi 'Arsy

a)     Secara bahasa :
 ‘Arsy bisa bermakna :

o   Singgasana raja.
Ini ditunjukkan oleh firman Allah Subhanahu wata’ala  :
إِنِّي وَجَدتُّ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِن كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ
Artinya : "Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar" (QS. An-Naml : 23)

o   Atap rumah.
Ini ditunjukkan oleh firman Allah Subhanahu wata’ala  :
أَوْ كَالَّذِي مَرَّ عَلَى قَرْيَةٍ وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوشِهَا
Artinya: "Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui sesuatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya " (QS. Al-Baqarah : 259)

o   Tiang dari sesuatu.
Berkata Az-Zubaidy : "Dan Al-'Arsy bermakna tiang dari sesuatu, ini adalah pendapat Az-Zujaj dan Al-Kisaa'i (Taajul 'Arusy : 4/321)

o   Punggung telapak kaki.
Berkata Ibnul A'rabi : "Punggung telapak kaki dinamakan 'arsy dan perut telapak kaki dinamakan Al-Akhmash (Lisanul 'Arab: 4/2881 )

b)     Secara istilah :

Ibnul-Qayim ketika membantah syubhat yang dilontarkan oleh orang-orang Jahmiyyah bahwa makna 'arsy dalam firman Allah Subhanahu wata’ala  surat Thaahaa: 5, mengandung kemungkinan beberapa makna sehingga tidak diketahui makna apa yang dilunjukkan ayat ini dari makna-makna tersebut, beliau berkata "Ini merupakan perancuan terhadap orang-orang bodoh dan merupakan kedustaan yang nyata, karena 'arsy Allah yang Dia bersemayam diatasnya tidak memiliki makna kecuali satu makna saja, walaupun 'arsy secara umum memiliki beberapa makna. Akan tetapi huruf alif lam disini adalah untuk menunjukkan sesuatu yang telah diketahui sebelumnya (Al-­'ahd), maka hal itu menjadikan makna 'arsy menjadi tertentu saja yaitu 'arsy Ar-Rabb yang bermakna Singgasana kerajaan­Nya yang telah disepakati dan diakui para Rasul dan para umat, kecuali orang yang menentang para Rasul" (Mukhtashar Shawaiqul-Mursalah 1/17, 18)

2)     Sifat-sifat 'Arsy

Diantara sifat-sifat 'Arsy ialah :

a)     Berada diatas air.
Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda dalam hadits Abu Roziin Al-Uqoiliy, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam  berkata :
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ خَلْقَهُ قَالَ كَانَ فِي عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ وَخَلَقَ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ
Artinya : "Ya Rasulullah, dimanakah Rabb kita sebelum menciptakan makhluk-makhluk-Nya berada? Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam  menjawab : Dia berada pada suatu awan yang tinggi dan tebal yang tidak ada udara baik diatas maupun dibawahnya kemudian Dia menciptakan 'arsy-Nya diatas air" (Hadits Shahih Riwayat Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Ahmad dan yang lainnya)

b)     Makhluk Allah yang tertinggi,
Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda :
فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَسَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ وَفَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ
Artinya : "Apabila kalian meminta kepada Allah, maka mintalah kepada-Nya surga Firdaus. Sesungguhnya surga firdaus itu pertengahan dan paling tingginya surga, dan diatas surga firdaus itu terdapat ‘arsy Ar-Rahman yang mana darinya memancarlah sungai-sungai surga" (Shahih Ibnu Majah 3512-4407, Ash-Shahihah (922), Bukhoriy - lihat Fathul Bari: 13/404)

c)      Berbentuk Kubah.
Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda : ''Sesungguhnya Allah berada diatas 'arsy-Nya dan sesungguhnya 'arsy-Nya itu berada diatas langit-langit dan bumi-Nya seperti begini, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam  mengatakannya sambil memperagakan jari-jarinya (yaitu) seperti bentuk kubah." (Hadits Shahih riwayat Ibnu Abi Ashirn dalam kitab As-Sunnah : 1/252)

d)     Memiliki tiang-tiang.
Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda :
إِنَّ النَّاسَ يَصْعَقُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَكُونُ أَوَّلَ مَنْ يُفِيقُ فَإِذَا أَنَا بِمُوسَى آخِذٌ بِقَائِمَةٍ مِنْ قَوَائِمِ الْعَرْشِ فَلَا أَدْرِي أَفَاقَ قَبْلِي أَمْ جُوزِيَ بِصَعْقَةِ الطُّورِ
Artinya: "Sesungguhnya manusia akan mengalami pingsan pada hari Qiyamat, maka aku adalah orang yang pertama kali siuman (dari pingsan tersebut), maka tiba-tiba saja aku mendapati Musa alaihissalam sedang memegang salah satu dari tiang-tiang 'arsy (oleh karena itu) maka tidaklah aku tahu, diakah yang lebih dahulu siuman ataukah aku, demikian ini karena dia dulu sudah pernah (siuman) dari peristiwa pingsannya dia di bukit Thursina" (Hadits Riwayat Bukhariy no.: 2411, 3408, 6517, 6518 dan Muslim no. : 2373)

e)     Dijunjung oleh delapan malaikat.
Allah Subhanahu wata’ala  berfirman:
وَالْمَلَكُ عَلَى أَرْجَائِهَا وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ
Artinya : "Dan malaikat-malaikat berada dipenjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan malaikat menjunjung 'arsy Rabb-mu diatas (kepala) mereka" (QS. Al-Haaqah : 17)

Allah Subhanahu wata’ala  mengabarkan didalam Al-Qu’ran, bahwa Dia bersemayam diatas 'arsy pada 7 tempat :
1). Q.s. Al-A'raaf : 54
2). Q.s. Yunus : 3
3). Q.s. Ar-Ra'd : 2
4). Q.s. Thaahaa : 5
5). Q.s. Al-Furqaan : 59
6). Q.s. As-Sajdah : 4
7). Q.s. Al-Hadid : 4

Ditambah lagi dengan sejumlah hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  yang menerangkan bahwa Allah Subhanahu wata’ala  diatas langit dan bersemayam diatas 'arsy. Dalam sebuah hadits yang cukup populer riwayat Muslim, Malik dan yang lainnya, tentang kisah pembebasan budak perempuan milik sahabat Muawiyah bin Al-Hakam As-Sulamiy, Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam  yang mengetes, terlebih dahulu tentang keimanan seorang budak perempuan itu dengan bertanya:
أَيْنَ اللَّهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
Artinya : "Dimana Allah ?, (budak perempuan itu) menjawab : (Allah) di langit, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda : bebaskan ia, sesungguhnya ia seorang yang beriman"

Pelajaran yang dapat diambil dari hadits tersebut ialah :
1.   Pertanyaan mengenai eksistensi (keberadaan) Allah bukanlah hal yang sifatnya mengada-ada, karena Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam  sendiri menanyakan hal ini kepada budak tersebut.

2.   Pengetahuan tentang eksistensi Allah dijadikan oleh Rasululloh sebagai parameter untuk menguji kelurusan keimanan seseorang.

3.  Dengan benarnya jawaban yang disampaikan oleh seorang budak yang nota bene berpendidikan sangat rendah dan kurangnya pengalaman dia dengan masyarakat secara luas, ini menunjukkan kepada kita bahwa ajaran "Allah berada diatas langit" merupakan ajaran yang mendasar, ajaran yang diimani dan difahami secara merata oleh segenap lapisan masyarakat pada zaman itu, sampai budak perempuan yang sehari-hari hidup dipadang rumput bersama hewan gembalaannya sekalipun mengetahuinya.

Tidaklah merasa malu kepada budak ini, profesor-profesor, doktor­-doktor atau tokoh-tokoh yang digelari cendekiawan muslim, ketika kita menanyakan kepada mereka: "Dimana Allah", lantas mereka menyahutnya dengan ketus : "Kau ini kalau bertanya yang berbobotlah, jangan mengada-ada" atau paling tidak mereka menjawab : "Allah ada dimana-mana". Subhanallah.......

Kita jawab: "Tuan Professor, kalau Allah ada dimana-mana, berarti Allah itu bisa jadi ada di langit, di bumi, di timur, di barat, di kamar mandi, di toilet atau di tong sampah?! Atau dimana saja Dia berada. Lalu bagaimana dengan kabar Al-Qur'an dan Al-Hadits yang menyebutkan Allah berada diatas langit bersemayam diatas 'Arsy-Nya, mau ditakwilkah? Atau mau dibuangkah? Lalu bagaimana pula dengan keesaan Allah, kalau Allah ada di mana-mana, apa mau punya Aqidah Wahdatul-Wujud (semua yang ada ini adalah wujud Allah) seperti aqidahnya Al-Hallaj atau syeikh Siti Jenar ?

"Ah... kalau begitu, justeru kamulah wahai tuan Professor, orang yang suka mengada-ada (bid'ah dalam aqidah)".


6.     Apakah Allah Subhanahu wata’ala bersama kita ?

Jawaban : Allah Subhanahu wata’ala bersama kita dalam hal pendengaran-Nya, penglihatan-Nya dan ilmu-Nya.

Allah Subhanahu wata’ala  berfirman:
قَالَ لَا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى
Artinya: “Jangan kalian berdua takut sungguh Aku bersama kalian berdua mendengar dan melihat”. (QS Thaahaa:46)

Dan Sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam  :
إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا وَهُوَ مَعَكُمْ
Artinya: Sesungguhnya kalian menyeru Dzat Yang  Maha Mendengar Maha dekat dan Dia bersama kalian. (Yaitu dengan IlmuNya melihat dan mendengar kalian). [HR Muslim 8/73]
       

Penjelasan :

Telah dijelaskan dimuka bahwa Allah berada diatas 'Arsy-Nya. Jadi pengertian kebersamaan (Ma'iyyah) Allah dengan makhluk-Nya ialah bahwa ilmu dan pengetahuan Allah menjangkau dan meliputi semua makhluk baik yang berada dialam nyata maupun di alam ghaib. Dengan mamahami nash-nash yang ada yang menyebutkan ma'iyyah Allah terhadap makhluk-Nya, maka para ulama menjabarkan istilah ma'iyyah ini kepada dua makna :

1)  Ma'iyyah 'ammah, yaitu ilmu dan pengetahuan Allah menjangkau dan meliputi semua makhluk-Nya, semua hal ihwal dan gerak-gerik makhluk-Nya. Allah Maha mengetahuinya. Seperti dalam firman Allah Subhanahu wata’ala :
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ
Artinya: "Sedangkan Dia bersama kamu, dimanapun kamu berada" (Q.s. Al-Hadiid : 4)

2)    Ma'iyyah khashshah, yaitu Allah melihat dan menolong serta melindungi orang-orang yang beriman. Seperti firman Allah Subhanahu wata’ala  :
لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا
Artinya: "Janganlah engkau (Abu Bakr), berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita." (Q.s. At-Taubah : 40)

Ada pertanyaan begini :

"Kalau ma'iyyah (kebersamaan) Allah terhadap makhluk-Nya itu diartikan ilmu dan pertolongan Allah, apakah ini bukan ta'wil namanya?! Bukankah ta'wil terhadap sifat-sifat Allah adalah sebuah kesesatan ?!"

Kita jawab: Memang benar ta'wil terhadap sifat-sifat Allah adalah sebuah kesesatan. Tetapi berkenaan dengan ma'iyyah Allah ini yang kita artikan dengan ilmu dan pertolongan-Nya, sama sekali kita tidak menta'wil, tapi justeru kita mengambil makna yang zhahir dari konteks (siyaq) nash-­nash tersebut. Adapun alasan-alasan kami adalah sebagai berikut :

1)  Lafazh " مَعَ" (bersama) sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah (lihat Al-Fatawa Al-Hamawiyyah 5/103) secara mutlak dalam bahasa Arab memiliki makna "menyertai" (Al-Muqaaranah) yang mana tidak mengharuskan memiliki makna "menyertai dengan bergandeng dan menempel baik berada disamping kanan, kiri, depan atau belakang."

Jadi apabila lafazh " مَعَ" ini diikat / diiringi dengan makna tertentu maka makna " مَعَ" tersebut dimaknai sesuai dengan makna yang mengikat / mengiringinya pada konteks yang dikehendaki. Dan ini termasuk kategori memberlakukan suatu nash secara hakiki / secara zhahir. Sebagai contoh, adalah sudah dimaklumi adanya ungkapan dalam bahasa 'Arab seperti ini :
مَازِلْنَا نَسِيْرُ وَالْقَمَرُ مَعَنَا
"Kami senantiasa berjalan, sedangkan bulan menyertai kami”

Coba anda perhatikan "bulan menyertai kita", apakah anda memahami bahwa bulan itu berada disamping  mereka?' Tentu tidak. Yang benar adalah bulan tetap berada diatas mereka dengan senantiasa menerangi perjalanan mereka dengan cahayanya.

Ini adalah bulan yang hanyalah makhluk, apalah lagi Allah sang Khaliq, tentunya Dia sangatlah Maha Mampu untuk menyertai makhluk-Nya dengan ilmu dan pertolongan-Nya walau Dia tetap berada diatas bersemayam di 'Arsy-Nya yang mulia. Sesungguhnya Allah Maha Besar, Maha Agung lagi Maha Mengetahui.

Dalam bahasa Indonesia juga kadang kata bersama / beserta, tidak mesti berarti bergandeng berada disamping, namun lebih menunjukkan kepada pengertian "beserta" secara maknawi. Sebagai contoh : Seorang ibu berkata kepada anak tercintanya : "Pergilah nak, do'a ibu selalu bersamamu".

Coba anda perhatikan : "do'a ibu selalu bersamamu" apakah ini difahami bahwa do'a ibunya itu selalu berada disampingnya, kalau dia berjalan do'a itupun ikut berjalan, kalau berhenti, do'a itupun ikut berhenti. Tentu bukan demikian, ini adalah pengertian yang mustahil dan kacau.

Maksud yang benar adalah setelah melepas kepergian anaknya yang tercinta, ibu itu selalu dengan tekun berdo'a kepada Allah untuk kebaikan, keselamatan dan kesuksesan anaknya. Jadi sekali lagi kesimpulannya adalah bahwa mengambil makna dan pengertian suatu nash sesuai konteks dan maksudnya adalah bukan dinamakan menta'wil tapi justeru dinamakan memberlakukan suatu nash secara hakiki / secara zhahir.

2)     Sebagai bahan analisa. Coba perhatikan ayat berikut ini :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنزِلُ مِنَ السَّمَاء وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya: "Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari kemudian Dia bersemayam diatas 'arsy, Dia mengetahui apa yang masuk kedalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dan langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Hadiid : 4)

Kesimpulan kandungan dari ayat tersebut adalah :

a)     Allah yang telah menciptakan langit dan bumi kemudian Dia bersemayam diatas ' Arsy.

b)  Pengertian "Dia bersama kami" pada ayat tersebut harus dibawa kepada pengertian bahwa : Allah mengetahui hal-ihwal kamu dan mengetahui segala tindak-tanduk kamu. Dan ini memang konteks ayatnya demikian. Sebab kalau dibawa kepada pengertian "Dia bersama kami" itu bahwa Allah berkumpul dan bergaul dengan manusia dibumi, tentunya ini bertentangan (kontradiksi) dengan isi poin pertama, bahwa dengan tegas Allah berfirman "Dia bersemayam diatas 'Arsy" (yang masih dalam satu ayat) padahal: Mustahil bagi Al-Qur'an ada ayat-ayat yang satu sama lain saling bertentangan, apalagi masih dalam satu ayat.

c)    Tidak ada satu orangpun dari kalangan generasi As-Salaf Ash­-Sholeh yang mengartikan ma'iyyah Allah dengan pengertian bahwa Allah berkumpul dan bergaul dengan makhluk-Nya dimuka bumi, bahkan mereka sepakat untuk mengingkari arti seperti ini. (pelajari Al-Qawa'idul Mutslaa, karya Ibnu Utsaimin hal. 71-86)


7.     Apa faedah Tauhid bagi seorang muslim?

Jawaban : Faedah Tauhid ialah rasa aman (dihindarkan) dari siksa api neraka di akherat dan mendapatkan petunjuk (hidayah) di dunia serta ampunan Allah dari dosa-dosa.

Allah Subhanahu wata’ala  berfirman:
الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ
Artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kedzaliman (kesyirikan), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS Al-An’am:82). 

Dan Sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam  :
حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
Artinya:Hak Allah Subhanahu wata’ala atas hambaNya bahwa mereka menyembahNya dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu pun” [Muttafaqun ‘Alaih, Muslim 1/43 (13), Ibnu Majah 3487-4372]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar