PASAL II
RAGAM TAUHID DAN KEUTAMAANNYA
1. Untuk apa Allah Subhanahu wata’ala
mengutus para rasul?
Jawaban : Allah mengutus mereka untuk berdakwah kepada Tauhid dan memberantas
kesyirikan.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
وَلَقَدْ
بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ
الطَّاغُوتَ
Artinya: “Dan sungguh Kami telah mengutus pada
setiap umat seorang rasul (untuk menyerukan) hendaklah kalian menyembah Allah
Subhanahu wata’ala dan menjauhi thoghut”. (QS An-Nahl: 36)
Makna "Thaghut" ialah syaithan yang menyeru untuk beribadah
kepada selain Allah.
Dan Sabda Nabi Muhammad Shalli ‘alaihi wasallam :
الْأَنْبِيَاءُ
إِخْوَةٌ …. وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ
Artinya: Para nabi itu bersaudara …. dan
agama mereka satu (yakni semua rasul mengajak kepada tauhid). [Muttafaqun ‘Alaih, Muslim 7/96 (1624)]
Penjelasan:
Yang dimaksud “dan agama mereka adalah satu” ialah inti ajaran agama
mereka semuanya mengajarkan Tauhid (Laa ilaha illallah) walaupun hukum-hukum
dan syari'at mereka berbeda-beda. Oleh karena itulah maka agama mereka
dikatakan satu.
2.
Apa yang dimaksud dengan “Tauhid
Rabb” (Tauhid Rububiyah)?
Jawaban : Ialah mentauhidkan Allah (meyakini dan menetapkan
keesaan Allah) dalam semua perbuatan-Nya, seperti menciptakan, mengatur (makhluk-Nya)
dan lain sebagainya.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
الْحَمْدُ
للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya: Segala puji bagi Allah, Tuhan
semesta alam. [QS
Al-Fatihah: 2].
Dan Sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :
اللَّهُمَّ رَبَّ
السَّمَاوَاتِ وَرَبَّ الْأَرْضِ
Artinya: Engkau adalah Rabb langit-langit dan
bumi [Muttafaqun ‘Alaihi, Muslim 8/78-79
(1908)]
3. Apa yang dimaksud dengan “Tauhiidul-Illah”
(Tauhid Uluhiyah)?
Jawaban : Ialah Mentauhidkan (mengesakan) Allah dalam beribadah, misalnya
seperti berdoa, menyembelih, bernadzar dan sebagainya.
Penjelasan :
·....Menyembelih (adz-dzabh) ialah menghilangkan nyawa
dengan mengalirkah darah dan dengan cara tertentu. Dan yang dimaksud dengan
menyembelih disini (yaitu yang berkaitan dengan ibadah) ialah penyembelihan
yang dilakukan dengan tujuan Pengagungan (Taqarrub) kepada sesuatu (objek) yang
mana sembelihan itu ditujukan untuknya. Dan kalau ini ditujukan pada selain
Allah maka hukumnya adalah syirik akbar (syirik besar), berdasarkan firman Allah
Subhanahu wata’ala :
قُلْ
إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لاَ
شَرِيكَ لَهُ
Artinya : "Katakanlah: Sesungguhnya shalatku,
sembelihanku. hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada
sekutu bagi-Nya... (Q.S : Al-An'aam : 162,163)
·.....Bernadzar (an-nadzr) ialah seseorang mewajibkan
dirinya untuk melakukan sesuatu (dengan syarat apa yang diinginkannya tercapai
terlebih dahulu), dan biasanya sesuatu itu ialah sesuatu yang pada hukum
asalnya adalah sunnah secara syar'i. (Lihat Kitab Syarh Kasyfu Asy-Syubuhaat
karya Syaikh Ibnu Utsaimin, hal: 37, 38)
(selesai penjelasan)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
وَإِلَـهُكُمْ
إِلَهٌ وَاحِدٌ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha
Esa; tidak ada Ilaah (yang berhak disembah) melainkan dia yang Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang. (QS
Al-Baqarah:163).
فَاعْلَمْ
أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Artinya: Ketauhilah bahwa tidak ada Ilah yang
berhak disembah dengan haq kecuali Allah Subhanahu wata'ala. (QS Muhammad: 19)
Dan Sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :
فليكن
أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله
Artinya: Hendaklah yang pertama kali yang
engkau menyeru mereka kepadanya persaksian bahwa tidak ada Ilah yang berhak
disembah kecuali Allah Ta'ala. [Muttafaqun
‘Alaihi]
اِلَى اَنْ يُوَ حِّدُاْ اللّٰه
Dalam riwayat Bukhari, teksnya : “Agar
mereka mentauhidkan Allah”
Penjelasan:
Pada jalur lain redaksi selengkapnya adalah sebagai
berikut :
Dari Abdullah bin' Abbas radhiyallahu anhu ia
berkata : "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Mu'adz bin Jabal radhiyallahu
anhu ketika mengutusnya ke negeri Yaman :
إِنَّكَ تَأْتِي
قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ
Artinya: "Bahwasanya engkau akan datang
pada suatu kaum yang mana mereka adalah ahli kitab. Jika engkau datang kepada
mereka. maka serulah mereka agar bersaksi bahwasanya tiada Ilaah yang patut
diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul utusan Allah" [Muslim
1/37-38 (504)]
Pada Jalan yang lain, redaksi hadits ini berbunyi sebagai berikut:
فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ
إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللَّهِ
"Hendaklah yang pertama kali engkau seru mereka
yaitu agar mereka beribadah kepada Allah”
Dalam riwayat lain berbunyi :
اَنْ يُوَ حِّدُاْ اللّٰه
“(Hendaklah yang pertama kali engkau seru mereka) agar
mentauhidkan/mengesakan Allah”
Jika mereka telah mentaatimu (dalam riwayat lain berbunyi: (فَاِذَا عَرَ فُوْا
اللّٰه) "Maka
jika mereka telah mengenal Allah").
فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ
عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا
لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ
مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِي فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ
فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ
لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
Maka beritahukan kepada mereka bahwasanya Allah Subhanahu
wata’ala telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam,
dan jika mereka telah mentaatimu, beritahukanlah bahwasanya Allah Subhanahu
wata’ala mewajibkan atas mereka untuk
menunaikan Zakat yang diambil dari orang-orang kaya, lalu dlberikan kepada
orang-orang fakir. Dan sekiranya mereka telah taat padamu. maka waspadalah
engkau dari harta benda yang sangat berharga bagi mereka. Dan takutah engkau
akan do'a seorang yang teraniaya. karena tiada penghalang antara do’anya dengan
Allah Subhanahu wata’ala . (Hadits shahih
riwayat Bukhary no: 1458 dan 1496, dan Muslim no: 29-30)
Maka ambilah pelajaran dari hadits ini wahai saudaraku bahwa dakwah kepada
Tauhid merupakan "Ujung tombak dakwah" agama kita ini.
4. Apa makna Tauhid Shifaatillahi wa
asma’ihi (Shifat-shifat dan Nama-nama bagi Allah)?
Jawaban : Maksudnya adalah menetapkan apa yang Allah telah tetapkan
untuk diri-Nya dalam Kitab-Nya atau yang ditetapkan bagi-Nya oleh Rasul-Nya didalam
hadits-hadits yang shahih, secara hakiki dengan tanpa harus menta’wil
(merubah artinya), mentafwidh (meniadakan arti pada nama dan sifat
Allah), mentamtsil (menyerupakan sifat Allah dengan makhluk-Nya), atau
menta’thil (membuang nama-nama dan sifat Allah). misalnya seperti
bersemayam-Nya Allah diatas Arsy, turun-Nya Allah, tangan Allah dan sebagainya
dari sifat-sifat yang sesuai dengan kesempurnaan Allah.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
Artinya: “Tidak ada sesuatupun yang serupa
dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat”. (QS Asy-Syura:11)
Dan Sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :
يَنْزِلُ اللّٰه فِىْ كُلَّ
لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا
Artinya: Allah turun ke langit dunia pada
setiap malam [HR Muslim]
Allah turun dengan sebenar-benar turun sesuai dengan keagungan Nya yang
mana turun-Nya tidak sama dengan turunnya satupun dari makhluk-makhluk-Nya.
Penjelasan :
Begitulah manhaj salaf Ash-Shalih dalam menyikapi
nash-nash, baik dari Al-Qur'an maupun Al-Hadits yang menyebutkan sifat-sifat
Allah, mereka memberlakukannya dan memahaminya secara dhohirnya lafazh (secara
hakiki), karena :
1)...Allah menurunkan Al-Qur'an dengan
bahasa Arab yang fasih dan jelas. Begitupula Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menyampaikan
hadits-haditsnya dengan bahasa Arab yang fasih dan jelas pula. Maka barang
siapa merubah lafazh-lafzh tersebut dari dhohimya, itu adalah sama dengan
berbicara atas nama Allah (mengada-ada) tanpa landasan ilmu. Perbuatan tersebut
sangat tercela dengan firman-Nya :
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ
الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ
الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَن
تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Artinya: Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan
perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan
dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk
itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui." (Q.S. Al-A'raaf: 33)
2) Sudah masyhur dikalangan ahli Bahasa
'Arab adanya sebuah qaidah:
اَلْا صْلُ فِيْ الْكَلَامِ اَلْحَقِيْقَةُ فَلَا يُعْدَلُ
عَنْهَا اِلَا بِدَلِيْلٍ صَحِيْعُ عُنْهَا
Artinya: “Asal dari sebuah ungkapan adalah (makna)
hakikinya, maka tidak baleh dipalingkan dari makna asalnya itu kecuali kalau
ada dalil (qarinah) yang shahih yang bisa memalingkannya.”
Bahkan aqidah ini menurut saya (pent.) kurang lebih
bersesuaian dengan gaya bahasa kita (Indonesia), sebagai contoh misalnya : Anda
bertemu dengan teman anda lalu dia mengatakan "Saya barusan bertemu dengan
Singa", tentu secara spontan tergambar dalam benak anda, ketika memahami
kata "Singa", adalah singa yang sebenar-benamya, yaitu seekor
binatang buas yang memiliki taring dan kuku yang tajam, tidak syak lagi memang
ini adalah pemahaman yang adil dan memang itulah makna singa secara asal.
Kecuali lain halnya kalau ada dalil/qarinah yang kuat, yang memalingkan dan
makna asal, contoh:
o
Bung Karno adalah betul-betul "Singa Podium"
yang sulit dicari tandingannya.
o
Panglima besar Khalid bin Walid adalah "Singa Padang
Pasirnya" Bangsa Quraisy
o
Dia mengidap penyakit "Raja Singa" (sipilis)
Yang jadi pertanyaan adalah: Berkenaan dengan nash-nash
dari Al-Qur’an dan Al-Hadits yang menyebutkan sifat-sifat Allah, adakah
gerangan dalil-dalil atau qarinah-qarinah yang kuat yang memalingkan dari
zhahirnya lafazh-lafazh tersebut? Selagi tidak ada, kita harus sepakat untuk
memberlakukan dan memahami nash-nash tersebut sesuai zhahirnya.
Cobalah kita buka mushaf Al-Qur'an kita, surat Ali-lmran,
ayat:7, untuk kemudian kita buka pula mata, telinga serta mata hati kita,
bagaimana Allah Subhanahu wata’ala memuji orang-orang yang raasikh fii al
'ilmi (mendalami ilmunya) ketika melihat dan mendengar ayat-ayat mutasyaabihaat
(ayat-ayat yang menerangkan sesuatu yang ghaib, yang tidak bisa diindera hakikatnya
oleh manusia, kecuali hanya Allah saja yang tahu).
Pujian Allah kepada mereka tentunya secara tersirat.
Allah menyuruh kita untuk meneladani mereka :
هُوَ
الَّذِيَ أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ
الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ
فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاء الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاء
تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي
الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ
إِلاَّ أُوْلُواْ الألْبَابِ
Artinya: “Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di
antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an
dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang
mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang
yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat
mengambil pelajaran (dari padanya) melainkan orang-orang yang berakal."
(QS Ali Imran : 7)
Adalah Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ketika
menyampaikan dalil secara akal yang menguatkan pendapat bahwa wajibnya
memberlakukan dan memahami nash secara zhahir, beliau mengatakan : ''Maka
oleh sebab yang berbicara (Allah) dengan nash-nash ini adalah yang paling tahu
tentang maksud-Nya dari pada selain-Nya, dan sungguh Dia telah mengarahkan
perkataan-Nya kepada kita dengan bahasa 'Arab yang jelas, maka wajib
menerimanya sesuai dengan (makna) zhahimya dan kalau tidak (menerima makna
secara zhahimya) sungguh akan terjadi perbedaan pendapat (penafsiran dan versi)
dan akan terpecah belahlah ummat ini "
"Betul sekali ya Syaikh kenyataannya memang demikian adanya- semoga
Allah merahmatimu" (pent)
Senada dengan ucapan beliau, ucapan imam Asy-Syafii : “Aku
beriman kepada Allah, dan kepada apa yang datang dari Allah (Al-Qur'an) sesuai
dengan maksud Allah. Dan aku beriman kepada Rasulullah dan kepada apa yang
dibawa oleh Rosulullah (Al-Hadits) sesuai dengan maksud Rasulullah" (Risalah Al-Madaniyyah oleh lbnu Taimiyyah.
hal. 121) [dinukil dan Syarh Lum'ati Al I’tiqaad. Oleh lbnu Utsaimin. Hal.36]
Begitulah mazhabnya penghulu Syafi'iyyah dalam menyikapi
Tauhid Asma' wa Sifatillah, bagaimana dengan mayoritas pengiku nya sekarang ini
-jauh panggang dari api- mereka justru menganut mazhab Asya'irah yang menolak
sebagian besar sifat-sifat Allah, walau demikian -lucunya- mereka, sambil
mendabik dada, bangga dan menganggap diri mereka sebagai pengikut mazhab
Syafi'i tulen, padahal tentunya beliau berlepas diri dari mereka,
Alangkah tepatnya penyair 'Arab yang mengatakan :
كُلٌّ
يَدَّعِي وَصَلاً بِلَيْلَى … وَلَيْلَى لَا تُقِرُّ لَهُمْ بِذَاكَا
Kullun yadda’i washolan bi Laila… Wa Laila la tuqirru
lahum bidzaakaa
"Semua (Lelaki) mengaku dirinya kekasih Laila.
padahal Laila tidak pemah mengaku punya hubungan antara dengan mereka”
Berikut ini adalah istilah-istilah yang perlu dijelaskan :
1) Ta'wil / Tahrif:
Pada mulanya arti dari ta'wil adalah tafsir, sebagaimana
do' a Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Ibnu 'Abbas:
اَللَّهُمَ
فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّاأْوِنْلَ
Artinya: "Ya Allah faqihkanlah dia dalam agama
ini dan ajarilah dia tafsir (Al-Qur'an)" (HR Ahmad: 2247)
Namun pada perkembangan berikutnya para ulama menggunakan
istilah ta'wil dengan pengertian tahrif, yaitu artinya adalah memalingkan
nash-nash dari zhahimya dengan menyelisihi maksud Allah dan Rasul-Nya serta
tafsir dan para sahabat dan para tabi'in yang mengikuti jejak para sahabat.
Dan tahrif ini lindakan yang biasa dilakukan oleh arang-orang
Yahudi yang sangat dimurkai Allah, Allah Subhanahu wata’ala berfirman :
مِّنَ
الَّذِينَ هَادُواْ يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ
سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا
Artinya: "Yaitu orang-orang Yahudi, mereka merubah
perkataan dari tempat-tempatnya, Mereka berkata : "Kami mendengar tetapi
kami tidak menuruti" (QS. An-Nisaa :46)
2) Ta'thil / Radd
Yaitu mendustakan dengan cara menolak atau mengingkari
sebagian atau semua sifat-sifat Allah, Contoh firqoh yang menolak sebagian
sifat-sifat Allah ialah firqoh Asya'irah dan Al Maturidiyyah, yang hanya
menetapkan sifat-sifat bagi Allah kepada jumlah tujuh atau dua puluh, Sedangkan
firqoh yang menolak semua sifat-sifat Allah ialah firqah Jahmiyyah (pendirinya
bernama Jahm bin Shafwan meninggal tahun 121 H) dan firqoh Mu'tazilah
(pendirinya bemama Washil bin Atho', murid Imam Hasan al Bashri yang durhaka).
3) Tasybih dan Tamsil
Yaitu menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat
Makhluk. Padahal Allah Subhanahu wata’ala berfirman :
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
Artinya: "Tidak ada sesuatupun yang serupa
dengan-Nya" (Q.s: Asy-Syuuraa : 11)
Apa perbedaan antara Tasybih dengan Tamtsil? Kalau
Tasybih adalah menyerupakan Allah dengan makhluk pada sebagaian sifat-sifat
tertentu saja (tidak sama persis) Sedangkan Tamtsil adalah menyerupakan Allah
dengan makhluk pada semua sifat-sifat dalam semua segi (sama persis).
4) Takyif / Tashawwur
Menggambarkan dan membayang-banyangkan dengan akal
mengenai hakikat dan sifat-sifat Allah. lni tidak dibenarkan, karena manusia
harus sadar dan mengakui keterbatasan dan kelemahan akalnya untuk menjangkau
hakikat sifat-sifat yang hanya Allah saja yang tahu. Allah Subhanahu
wata’ala berfirman :
وَلَا
يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا
Artinya: "Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi
Ilmu-Nya" (QS Thaahaa : 110)
Adapun perbedaannya dengan tasybih atau tamtsil adalah,
Takyif ini tidak dikaitkan dengan makhluk yang ada, sebagai contoh gambarannya
begini : Allah memiliki dua tangan (lihat QS. AlMaidah : 64), lalu seseorang
berkata, dengan :
- Tasybih atau Tamtsil : "Menurut saya kedua
tangan Allah itu seperti kedua tangan saya".
- Takyif atau Tashowwur : "Menurut saya kedua
tangan Allah itu seperti begini dan begini".
Jadi dia menggambar-gambarkan sendiri,
mengkhayal-khayalkan sendiri, mereka-reka sendiri dan berimajinasi sendiri.
-Cukup kreatif dan imajinatif memang, tapi sesat-(pent.)
Ambillah pelajaran !
Ketika Imam Malik bin Anas bermajlis bersama
murid-muridnya adalah seorang laki-laki bertanya kepada beliau : "Wahai
Abu 'Abdillah (julukan Imam Malik) :
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Artinya: "Allah yang maha Pengasih bersemayam
diatas 'Arsy" (QS. Thaahaa : 5)
Bagaimana bersemayamnya Allah itu?
Imam Malik menjawab : "Il-Istiwa'
(bersemayamnya Allah diatas 'Arsy) jelas (maknanya sudah diketahui) dan Takyif
tentangnya tidak bisa dijangkau dengan akal, sedangkan beriman tentang hal itu
adalah wajib dan pertanyaan (seperti itu) adalah bid'ah." Kemudian Imam
Malik menyuruh agar laki-laki yang bertanya tadi diusir keluar. (kerena beliau
khawatir orang ini akan mempengaruhi dan menimbulkan fitnah bagi yang
lainnya-pent.)
[Atsar Shahih dikeluarkan oleh Ibnu Qudamah
dalam Al-Uluuw hal 141, 142. Abu Nuaim dalam Al-Hilyah : 6/325-326, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmal wa As-Sifat. hal.
408, dan yang lain-lainnya] Lihat Syarh Lum'atil-I'tiqood oleh Ibnu Utsaimin. hal.
68-69.
5) Tafwidl
Ketahuilah bahwa zhahir nash-nash yang menyebutkan
slfat-sifat Allah Itu memiliki dua segi :
- Segi Makna yang zhohir.
Sebagai makna dan kelaziman bahasa ‘Arab.
Contoh : Lafazh " يَدُ اللّٰه ", maknanya adalah "tangan Allah"
- Segi kaifiyyah atau hakikatnya.
Ini adalah hal yang ghaib, hanya Allah saja yang tahu.
Contoh: Tentang bagaimana "tangan Allah", atau
yang lainnya semisal, bagaimana Surga, Neraka, Wajah Allah, Mizan, Shirath dan
sebagainya, hanya Allah saja yang tahu, karena semuanya itu belum pemah
ditunjukkan kepada kita, atau kita belum pernah kesana dan akal kita tidak akan
mampu menjangkaunya. Tafwidl itu secara bahasa artinya "Menyerahkan
sesuatu".
Dalam hal ini aqidah Ahlus-sunnah wal jama'ah menerima
segi (a) makna yang zhahir, dan menyerahkan pengetahuan kepada Allah pada segi
(b) kaifiyyah atau hakikatnya
Sedangkan aqidah Ahli Tafwidl (mufawwidlah) ialah
menyerahkan semuanya baik segi (a) makna yang zhahir, maupun segi (b) kaifiyyah
atau hakikatnya kepada Allah, mereka bersikap masa bodoh dan tidak berkomentar
(no coment) terhadap nash-nash yang mewartakan sifat-sifat Allah. Mereka
biarkan nash-nash itu sekedar "hitam diatas putih" saja.
Syaikhul-Islam lbnu Taimiyyah dalam kitab beliau “Al-Aql
wa An-Naql” mengatakan bahwa aqidah Ahli Tafwidl adalah sejelek-jelek aqidah
ahli bid'ah dan kesesatan dalam masalah Tauhid Asma' wa sifatillah, karena itu
sarna dengan menuduh jelek lerhadap Al-Qur'an dan terhadap Rasululloh shallallahu
‘alaihi wasallam : Yaitu bahwasanya
Al-Qur'an itu nash-nashnya ada yang tidak bermakna dan tidak bisa difahami,
begitu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang membawa dan berkewajiban menjelaskan isi
Al-Qur'an tidak memahami nash-nash itu.
Seandainya ada beberapa nash-nash yang tidak bermakna,
maka tidak sempurnalah julukan yang disandang Al-Qur'an yaitu "Hudan
Linnaas" dan "Al-Furqon". Padahal Allah Subhanahu wata’ala berfirman :
وَأَنزَلْنَا
إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : "Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl : 44)
Perhatikan penggalan ayat tersebut berbunyi "supaya
mereka memikirkan".
Kalau seandainya ada (tidak sedikit) nash-nash yang tidak
bermakna lalu apanya yang hendak difikirkan? Nash-nash itu akan bisa menjadi
bahan fikiran, kalau memiliki makna Tentunya Maha Suci Allah dari berbuat bodoh
dan sia-sia dalam Kalam-Nya. (Lihat Al-Qawaa'idul-Musthaa hal 45-48)
Konon diantara yang menganut aqidah ini adalah tokoh
pendiri Harokah lkhwanul-Muslimin Syaikh Hassan Al_Banna, wAllahu 'alam (lihat
Buku "Jama'ah-Jama'ah Islam Ditimbang Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah Jihd
II, Syaikh Salim bin 'led al-Hilaly. Pustaka Imam Bukhari hal 68). Kelima macam
bentuk kesesatan ini (Ta'wil, Ta'thil, Tamtsil, Takyif dan Tafwidl) merupakan
bentuk-bentuk kesyirikan dan kekufuran terhadap Tauhid Asma' wa Sifatulloh.
Saya (pent.) pernah mendengar ada seorang ustadz bahkan
seorang pemimpin sebuah pondok pesantren mengatakan bahwa membahas Tauhid Asma'
wa Sifatulloh seperti ini adalah bertele-tele dalam membahas nash-nash
Al-Qur'an dan Al-Hadits ?!
Kepada orang seperti ini saya akan menyampaikan salah satu dan tiga "
penghargaan " :
- Bisa jadi dia orang yang suka meremehkan sesuatu
yang sebenamya pokok dan penting.
- Bisa jadi dia orang yang malas, yang tidak suka
berpayah-payah (mujahadah) dalam beragama.
- Bisa jadi dia memang orang bodoh tapi sok pintar.
Atau barangkali semua penghargaan ini saya serahkan kepada dia.
Sesungguhnya aqidah seperti ini telah dipegangi oleh
As-Salaf Ash Shaleh, serta oleh para A’immatul-Huda (pemuka-pemuka para ulama
yang mengikutl petunjuk). dan mereka telah membahasnya secara panjang lebar,
secara ilmiyah dalam kitab-knab karya mereka. Dan orang ini sama sekali tidak
menghargai jasa-jasa para ulama yang sudah berupaya keras dan ikhlas untuk
menerangkan kepada umat tentang bagaimana memahami Tauhid Asma' wa Sifatulloh
sesuai dengan yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya
-Semoga Allah membalas kebaikan mereka, dan semoga Allah mengampuni dan
menunjuki orang ini –
Kembali kepada pembahasan "Ragam Tauhid", bahwa
wajib 'ain bagi setiap muslim / muslimah untuk memiliki dan menjaga kemurnian
dari ketiga ragam Tauhid tersebut, yaitu dalam Tauhid Rubbubiyyah, Tauhid
Uluhiyyah dan Tauhid Asma' wa Sifatulloh.
Keliru dan tersesatlah orang yang hanya mengimani Tauhid
Rububiyyah saja tanpa kedua macam Tauhid yang lainnya. Sebagaimana hal-ikhwal
kaum musyrikin Quraisy tempo dulu, mereka hanya mengimani Tauhid Rububiyyah
saja.
Perhatikan firman Allah Subhanahu wata’ala tentang mereka :
وَلَئِن
سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
Artinya: "Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka
"Siapakah yang menciptakan langit dan bumi.? Niscaya mereka menjawab :
Allah .. ... " (QS. Az-Zumar : 38)
Imam Ibnu Qayyim berkata: "Seandainya keimanan
kepada Tauhid Rububiyyah ini saja dapat menyelamatkan, tentunya orang-orang
musyrikin telah diselamatkan. Akan tetapi urusan yang amat penting dan menjadi
penentu adalah keimanan kepada Tauhid Uluhiyyah yang merupakan pembeda antara
orang-orang musryikin dan orang-orang yang mentauhidkan Allah.
"(Madaarijus Saaliqin: 1/327) (dinukil dari "6 Pilar Utama Dakwah
Salafiyyah” hal. 56]
Ada lagi sebuah pertanyaan yang cukup bagus bahwa,
"Apakah pembagian Tauhid menjadi tiga tersebut adalah bid'ah, karena tidak
ada satupun riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyatakan pembagian lersebut ?
Kita jawab:
Pembagian tersebut bukanlah bid'ah, dengan alasan :
a.....Pembagian tersebut hanyalah metode
para ulama untuk mengklasifikasi nash-nash yang ada, yang berkenaan dengan
Tauhid kepada Allah, yang mana tujuan upaya para ulama tersebut adalah untuk 'Tashiilu
Al-Fahmi" (mempermudah pemahaman) bagi kaum muslimin terutama kalangan
awam. Sebagaimana sama halnya dengan klasifikasi ulama terhadap ajaran Islam
itu sendiri. Kita sudah sejak dulu mengenal ada bidang aqidah, syari'at /
hukum, akhlak, fara'id dan sebagainya. Kita lihat juga kitab-kitab hadils
seperti jawami' dan sunan, kita mengenal kitab Shahih Bukhariy, Shahih Muslim,
Sunan Abu Dawud, Sunan Al-Tirmidzi, Sunan An Nasa'i, Sunan Ibnu Majah dan
sebagainya, disitu tersusun secara tematik, seperti kitab : Thaharah, Kitab
Sholat, Kitab Zakat, Kitab Haji, Kitab Buyu' dan sebagainya.
Padahal apakah pernah dalam radaksi hadits Rasululloh shallallahu
‘alaihi wasallam mengatakan terlebih
dahulu kepada para sahabat :
"Wahai para sahabat. hari ini adalah pelajaran
Aqidah"
"Wahai para sahabal, sekarang pelajaran Syari'at”
"Wahai para sahabal, pagi ini kita mengaji tentang rnasalah
Thaharah".
Jadi sekali lagi berkenaan dengan
masalah pembagian Tauhid juga, para ulama hanya mengklasifikasi saja bukan
mengada-ada (bid'ah).
Kalau begitu, nanti jangan-jangan
pembagian AI-Qur'an kepada 30 juz bid'ah juga?1
b.....Coba kita perhatikan nash-nash
Al-Qur'an seperti dalarn surat Al Fatihah sendiri terangkum tiga macam Tauhid
tersebut :
Ø (الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ)
Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim. Adalah dua nama dari nama-nama Allah, berani masuk
pada kategori Tauhid Asma' wa Sifatulloh"
Ø (الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ) Allah dikatakan "Rabb” semesta alam, berarti masuk kepada
kategori Tauhid Rububiyyah.
Ø (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ) Secara tersirat Allah menyuruh kita beribadah dan minta
penolongan hanya kepada-Nya saja, tidak kepada yang lain, ini berarti masuk
kepada Tauhid Uluhiyyah.
c.....Disana ada juga sebagian ulama yang
membagi Tauhid bukan menjadi tiga, melainkan dua yaitu:
Ø Tauhid Al-Ma'rifah wal Al-Itsbaat,
kalau diuraikan menjadi Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Asma' wa Sifatulloh.
Ø Tauhid Al-Qashdu wa Ath-Thalab,
ini sama dengan Tauhid Uluhiyyah. Wallahu 'alam.
5.
Di mana Allah?
Jawaban : Allah Subhanahu wa ta’ala di atas Arsy di atas
langit.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Artinya: “(Yaitu) Ar Rahman [Allah Yang Maha Pengasih] yang bersemayam di atas ‘Arsy”. (QS Thaahaa:5)
Dengan pengertian (اسْتَوَى) ialah (عَلَا) dan (اِرْتَفَعَ) artinya:
berada diatas, sebagaimana penjelasan sebuah hadits yang termaktub dalam
Shahhih Bukhariy.
Dan Sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :
اِنٌ الله كَتَبَ كِتَابًا ... فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ
الْعَرْشِ
Artinya: 'Sesungguhnya Allah Subhanahu
wata’ala telah menulis kitab (tentang takdir), …. Kitab itu berada di sisi
Allah yang berada di atas Arsy. [Mutaffaq alaih, Muslim 8/96 (1932)]
Penjelasan:
Tentang 'Arsy Allah :
1) Definisi 'Arsy
a) Secara bahasa :
‘Arsy bisa
bermakna :
o
Singgasana raja.
Ini ditunjukkan oleh firman Allah Subhanahu wata’ala :
إِنِّي
وَجَدتُّ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِن كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ
عَظِيمٌ
Artinya : "Sesungguhnya aku menjumpai seorang
wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta
mempunyai singgasana yang besar" (QS. An-Naml : 23)
o
Atap rumah.
Ini ditunjukkan oleh firman Allah Subhanahu wata’ala :
أَوْ
كَالَّذِي مَرَّ عَلَى قَرْيَةٍ وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوشِهَا
Artinya: "Atau apakah (kamu tidak memperhatikan)
orang yang melalui sesuatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya
" (QS. Al-Baqarah : 259)
o
Tiang dari sesuatu.
Berkata Az-Zubaidy : "Dan Al-'Arsy bermakna tiang
dari sesuatu, ini adalah pendapat Az-Zujaj dan Al-Kisaa'i (Taajul 'Arusy :
4/321)
o
Punggung telapak kaki.
Berkata Ibnul A'rabi : "Punggung telapak kaki
dinamakan 'arsy dan perut telapak kaki dinamakan Al-Akhmash (Lisanul 'Arab:
4/2881 )
b) Secara istilah :
Ibnul-Qayim ketika membantah syubhat yang dilontarkan
oleh orang-orang Jahmiyyah bahwa makna 'arsy dalam firman Allah Subhanahu
wata’ala surat Thaahaa: 5,
mengandung kemungkinan beberapa makna sehingga tidak diketahui makna apa yang
dilunjukkan ayat ini dari makna-makna tersebut, beliau berkata "Ini
merupakan perancuan terhadap orang-orang bodoh dan merupakan kedustaan yang
nyata, karena 'arsy Allah yang Dia bersemayam diatasnya tidak memiliki makna
kecuali satu makna saja, walaupun 'arsy secara umum memiliki beberapa makna.
Akan tetapi huruf alif lam disini adalah untuk menunjukkan sesuatu yang telah
diketahui sebelumnya (Al-'ahd), maka hal itu menjadikan makna 'arsy menjadi
tertentu saja yaitu 'arsy Ar-Rabb yang bermakna Singgasana kerajaanNya yang
telah disepakati dan diakui para Rasul dan para umat, kecuali orang yang
menentang para Rasul" (Mukhtashar Shawaiqul-Mursalah 1/17, 18)
2) Sifat-sifat 'Arsy
Diantara sifat-sifat 'Arsy ialah :
a) Berada diatas air.
Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits Abu Roziin Al-Uqoiliy,
beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata :
يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ خَلْقَهُ قَالَ كَانَ
فِي عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ وَخَلَقَ عَرْشَهُ عَلَى
الْمَاءِ
Artinya : "Ya Rasulullah, dimanakah Rabb kita
sebelum menciptakan makhluk-makhluk-Nya berada? Beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam menjawab : Dia berada pada
suatu awan yang tinggi dan tebal yang tidak ada udara baik diatas maupun
dibawahnya kemudian Dia menciptakan 'arsy-Nya diatas air" (Hadits
Shahih Riwayat Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Ahmad dan yang lainnya)
b) Makhluk Allah yang tertinggi,
Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَسَلُوهُ
الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ وَفَوْقَهُ
عَرْشُ الرَّحْمَنِ وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ
Artinya : "Apabila kalian meminta kepada Allah,
maka mintalah kepada-Nya surga Firdaus. Sesungguhnya surga firdaus itu
pertengahan dan paling tingginya surga, dan diatas surga firdaus itu terdapat
‘arsy Ar-Rahman yang mana darinya memancarlah sungai-sungai surga"
(Shahih Ibnu Majah 3512-4407, Ash-Shahihah (922), Bukhoriy - lihat Fathul Bari:
13/404)
c) Berbentuk Kubah.
Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : ''Sesungguhnya Allah berada
diatas 'arsy-Nya dan sesungguhnya 'arsy-Nya itu berada diatas langit-langit dan
bumi-Nya seperti begini, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakannya sambil memperagakan jari-jarinya
(yaitu) seperti bentuk kubah." (Hadits Shahih riwayat Ibnu Abi Ashirn
dalam kitab As-Sunnah : 1/252)
d) Memiliki tiang-tiang.
Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّ النَّاسَ يَصْعَقُونَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ فَأَكُونُ أَوَّلَ مَنْ يُفِيقُ فَإِذَا أَنَا بِمُوسَى آخِذٌ
بِقَائِمَةٍ مِنْ قَوَائِمِ الْعَرْشِ فَلَا أَدْرِي أَفَاقَ قَبْلِي أَمْ جُوزِيَ
بِصَعْقَةِ الطُّورِ
Artinya: "Sesungguhnya manusia akan mengalami
pingsan pada hari Qiyamat, maka aku adalah orang yang pertama kali siuman (dari
pingsan tersebut), maka tiba-tiba saja aku mendapati Musa alaihissalam sedang
memegang salah satu dari tiang-tiang 'arsy (oleh karena itu) maka tidaklah aku
tahu, diakah yang lebih dahulu siuman ataukah aku, demikian ini karena dia dulu
sudah pernah (siuman) dari peristiwa pingsannya dia di bukit Thursina"
(Hadits Riwayat Bukhariy no.: 2411, 3408, 6517, 6518 dan Muslim no. : 2373)
e) Dijunjung oleh delapan malaikat.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
وَالْمَلَكُ
عَلَى أَرْجَائِهَا وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ
Artinya : "Dan malaikat-malaikat berada
dipenjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan malaikat menjunjung 'arsy
Rabb-mu diatas (kepala) mereka" (QS. Al-Haaqah : 17)
Allah Subhanahu wata’ala mengabarkan didalam Al-Qu’ran, bahwa Dia
bersemayam diatas 'arsy pada 7 tempat :
1). Q.s. Al-A'raaf : 54
2). Q.s. Yunus : 3
3). Q.s. Ar-Ra'd : 2
4). Q.s. Thaahaa : 5
5). Q.s. Al-Furqaan : 59
6). Q.s. As-Sajdah : 4
7). Q.s. Al-Hadid : 4
Ditambah lagi dengan sejumlah hadits-hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam yang menerangkan
bahwa Allah Subhanahu wata’ala diatas langit dan bersemayam diatas 'arsy.
Dalam sebuah hadits yang cukup populer riwayat Muslim, Malik dan yang lainnya,
tentang kisah pembebasan budak perempuan milik sahabat Muawiyah bin Al-Hakam
As-Sulamiy, Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengetes, terlebih dahulu tentang
keimanan seorang budak perempuan itu dengan bertanya:
أَيْنَ اللَّهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ أَعْتِقْهَا
فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
Artinya : "Dimana Allah ?, (budak perempuan itu) menjawab : (Allah)
di langit, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : bebaskan ia, sesungguhnya ia
seorang yang beriman"
Pelajaran yang dapat diambil dari hadits tersebut ialah :
1. Pertanyaan mengenai eksistensi (keberadaan)
Allah bukanlah hal yang sifatnya mengada-ada, karena Rasululloh shallallahu
‘alaihi wasallam sendiri menanyakan
hal ini kepada budak tersebut.
2. Pengetahuan tentang eksistensi Allah
dijadikan oleh Rasululloh sebagai parameter untuk menguji kelurusan keimanan
seseorang.
3. Dengan benarnya jawaban yang
disampaikan oleh seorang budak yang nota bene berpendidikan sangat rendah dan
kurangnya pengalaman dia dengan masyarakat secara luas, ini menunjukkan kepada
kita bahwa ajaran "Allah berada diatas langit" merupakan ajaran yang
mendasar, ajaran yang diimani dan difahami secara merata oleh segenap lapisan
masyarakat pada zaman itu, sampai budak perempuan yang sehari-hari hidup
dipadang rumput bersama hewan gembalaannya sekalipun mengetahuinya.
Tidaklah merasa malu kepada budak ini, profesor-profesor,
doktor-doktor atau tokoh-tokoh yang digelari cendekiawan muslim, ketika kita
menanyakan kepada mereka: "Dimana Allah", lantas mereka menyahutnya
dengan ketus : "Kau ini kalau bertanya yang berbobotlah, jangan
mengada-ada" atau paling tidak mereka menjawab : "Allah ada
dimana-mana". Subhanallah.......
Kita jawab: "Tuan Professor, kalau Allah ada
dimana-mana, berarti Allah itu bisa jadi ada di langit, di bumi, di timur, di
barat, di kamar mandi, di toilet atau di tong sampah?! Atau dimana saja Dia
berada. Lalu bagaimana dengan kabar Al-Qur'an dan Al-Hadits yang menyebutkan Allah
berada diatas langit bersemayam diatas 'Arsy-Nya, mau ditakwilkah? Atau mau
dibuangkah? Lalu bagaimana pula dengan keesaan Allah, kalau Allah ada di
mana-mana, apa mau punya Aqidah Wahdatul-Wujud (semua yang ada ini adalah wujud
Allah) seperti aqidahnya Al-Hallaj atau syeikh Siti Jenar ?
"Ah... kalau begitu, justeru kamulah wahai tuan
Professor, orang yang suka mengada-ada (bid'ah dalam aqidah)".
6.
Apakah Allah Subhanahu wata’ala
bersama kita ?
Jawaban : Allah Subhanahu wata’ala bersama kita dalam hal pendengaran-Nya,
penglihatan-Nya dan ilmu-Nya.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
قَالَ
لَا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى
Artinya: “Jangan kalian berdua takut sungguh
Aku bersama kalian berdua mendengar dan melihat”. (QS Thaahaa:46)
Dan Sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :
إِنَّكُمْ
تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا وَهُوَ مَعَكُمْ
Artinya: Sesungguhnya kalian menyeru Dzat
Yang Maha Mendengar Maha dekat dan Dia bersama kalian. (Yaitu dengan
IlmuNya melihat dan mendengar kalian). [HR Muslim 8/73]
Penjelasan :
Telah dijelaskan dimuka bahwa Allah berada diatas
'Arsy-Nya. Jadi pengertian kebersamaan (Ma'iyyah) Allah dengan
makhluk-Nya ialah bahwa ilmu dan pengetahuan Allah menjangkau dan meliputi
semua makhluk baik yang berada dialam nyata maupun di alam ghaib. Dengan
mamahami nash-nash yang ada yang menyebutkan ma'iyyah Allah terhadap
makhluk-Nya, maka para ulama menjabarkan istilah ma'iyyah ini kepada dua
makna :
1) Ma'iyyah 'ammah, yaitu ilmu dan pengetahuan Allah menjangkau dan
meliputi semua makhluk-Nya, semua hal ihwal dan gerak-gerik makhluk-Nya. Allah
Maha mengetahuinya. Seperti dalam firman Allah Subhanahu wata’ala :
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ
Artinya: "Sedangkan Dia bersama kamu, dimanapun
kamu berada" (Q.s. Al-Hadiid : 4)
2) Ma'iyyah khashshah, yaitu Allah melihat dan menolong serta melindungi
orang-orang yang beriman. Seperti firman Allah Subhanahu wata’ala :
لاَ
تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا
Artinya: "Janganlah engkau (Abu Bakr), berduka
cita, sesungguhnya Allah bersama kita." (Q.s. At-Taubah : 40)
Ada pertanyaan begini :
"Kalau ma'iyyah (kebersamaan) Allah terhadap
makhluk-Nya itu diartikan ilmu dan pertolongan Allah, apakah ini bukan ta'wil
namanya?! Bukankah ta'wil terhadap sifat-sifat Allah adalah sebuah kesesatan
?!"
Kita jawab: Memang benar ta'wil terhadap sifat-sifat Allah adalah sebuah
kesesatan. Tetapi berkenaan dengan ma'iyyah Allah ini yang kita artikan dengan
ilmu dan pertolongan-Nya, sama sekali kita tidak menta'wil, tapi justeru kita
mengambil makna yang zhahir dari konteks (siyaq) nash-nash tersebut.
Adapun alasan-alasan kami adalah sebagai berikut :
1) Lafazh " مَعَ"
(bersama) sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah (lihat Al-Fatawa
Al-Hamawiyyah 5/103) secara mutlak dalam bahasa Arab memiliki makna
"menyertai" (Al-Muqaaranah) yang mana tidak mengharuskan memiliki
makna "menyertai dengan bergandeng dan menempel baik berada disamping
kanan, kiri, depan atau belakang."
Jadi apabila lafazh " مَعَ" ini
diikat / diiringi dengan makna tertentu maka makna " مَعَ" tersebut
dimaknai sesuai dengan makna yang mengikat / mengiringinya pada konteks yang
dikehendaki. Dan ini termasuk kategori memberlakukan suatu nash secara hakiki /
secara zhahir. Sebagai contoh, adalah sudah dimaklumi adanya ungkapan dalam
bahasa 'Arab seperti ini :
مَازِلْنَا نَسِيْرُ
وَالْقَمَرُ مَعَنَا
"Kami senantiasa berjalan, sedangkan bulan menyertai
kami”
Coba anda perhatikan "bulan menyertai kita",
apakah anda memahami bahwa bulan itu berada disamping mereka?' Tentu tidak. Yang benar adalah bulan
tetap berada diatas mereka dengan senantiasa menerangi perjalanan mereka dengan
cahayanya.
Ini adalah bulan yang hanyalah makhluk, apalah lagi Allah
sang Khaliq, tentunya Dia sangatlah Maha Mampu untuk menyertai makhluk-Nya
dengan ilmu dan pertolongan-Nya walau Dia tetap berada diatas bersemayam di
'Arsy-Nya yang mulia. Sesungguhnya Allah Maha Besar, Maha Agung lagi Maha
Mengetahui.
Dalam bahasa Indonesia juga kadang kata bersama /
beserta, tidak mesti berarti bergandeng berada disamping, namun lebih
menunjukkan kepada pengertian "beserta" secara maknawi. Sebagai
contoh : Seorang ibu berkata kepada anak tercintanya : "Pergilah nak, do'a
ibu selalu bersamamu".
Coba anda perhatikan : "do'a ibu selalu
bersamamu" apakah ini difahami bahwa do'a ibunya itu selalu berada disampingnya,
kalau dia berjalan do'a itupun ikut berjalan, kalau berhenti, do'a itupun ikut
berhenti. Tentu bukan demikian, ini adalah pengertian yang mustahil dan kacau.
Maksud yang benar adalah setelah melepas kepergian
anaknya yang tercinta, ibu itu selalu dengan tekun berdo'a kepada Allah untuk
kebaikan, keselamatan dan kesuksesan anaknya. Jadi sekali lagi kesimpulannya
adalah bahwa mengambil makna dan pengertian suatu nash sesuai konteks dan
maksudnya adalah bukan dinamakan menta'wil tapi justeru dinamakan memberlakukan
suatu nash secara hakiki / secara zhahir.
2) Sebagai bahan analisa. Coba
perhatikan ayat berikut ini :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا
يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنزِلُ مِنَ السَّمَاء وَمَا
يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
بَصِيرٌ
Artinya: "Dialah yang menciptakan langit dan bumi
dalam enam hari kemudian Dia bersemayam diatas 'arsy, Dia mengetahui apa yang
masuk kedalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dan
langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu
berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Hadiid
: 4)
Kesimpulan kandungan dari ayat tersebut adalah :
a) Allah yang telah menciptakan langit
dan bumi kemudian Dia bersemayam diatas ' Arsy.
b) Pengertian "Dia bersama
kami" pada ayat tersebut harus dibawa kepada pengertian bahwa : Allah
mengetahui hal-ihwal kamu dan mengetahui segala tindak-tanduk kamu. Dan ini
memang konteks ayatnya demikian. Sebab kalau dibawa kepada pengertian "Dia
bersama kami" itu bahwa Allah berkumpul dan bergaul dengan manusia
dibumi, tentunya ini bertentangan (kontradiksi) dengan isi poin pertama, bahwa
dengan tegas Allah berfirman "Dia bersemayam diatas 'Arsy"
(yang masih dalam satu ayat) padahal: Mustahil bagi Al-Qur'an ada ayat-ayat
yang satu sama lain saling bertentangan, apalagi masih dalam satu ayat.
c) Tidak ada satu orangpun dari
kalangan generasi As-Salaf Ash-Sholeh yang mengartikan ma'iyyah Allah dengan
pengertian bahwa Allah berkumpul dan bergaul dengan makhluk-Nya dimuka bumi,
bahkan mereka sepakat untuk mengingkari arti seperti ini. (pelajari
Al-Qawa'idul Mutslaa, karya Ibnu Utsaimin hal. 71-86)
7.
Apa faedah Tauhid bagi seorang
muslim?
Jawaban : Faedah Tauhid ialah rasa aman (dihindarkan) dari siksa
api neraka di akherat dan mendapatkan petunjuk (hidayah) di dunia serta ampunan
Allah dari dosa-dosa.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
الَّذِينَ
آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ
وَهُم مُّهْتَدُونَ
Artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kedzaliman (kesyirikan), mereka Itulah yang
mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS Al-An’am:82).
Dan Sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :
حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ
أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
Artinya: “Hak Allah Subhanahu wata’ala atas
hambaNya bahwa mereka menyembahNya dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu
pun” [Muttafaqun ‘Alaih, Muslim 1/43 (13), Ibnu Majah 3487-4372]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar